Pagi masih menyisakan tetesan gerimis semalam. Embun-embun dijendela
kaca masih setia saling beradu. Dingin masih terasa hingga ke ulu hati.
Ah, malas sekali rasanya beranjak dan menyibak selimutku. Kulihat jam
weker disamping meja tempat tidurku. Mati. Tidak ada angka yang
menunjukkan waktu. Baterainya habis. Itu adalah alasan yang paling masuk
akal. Tapi aku punya alasan sendiri kenapa jam weker itu mati.
*
Aku buka kotak kecil pemberian dia. Aku terkejut melihat isi dibalik kotak itu. Sebuah jam weker berbentuk kotak berwarna putih dengan motif hello kitty yang cantik. Animasi kesukaanku.
"Kamu suka?"
"Sangat suka, terimakasih" aku tersenyum manja dan memelukmu.
"Aku ingin setiap saat kamu bisa mengingatku. Lihat, lampunya warna warni kan. Dia bisa menemanimu saat tidur" kau tersenyum, menggemaskan.
Aku memperhatikanmu menjelaskan tentang hadiahmu itu. Tentang nyala lampunya yang unik, tentang motifnya yang lucu, dan tentang alasanmu memberiku hadiah itu. Malam itu adalah malam terindah semenjak kau ungkapkan kata cinta dan kita resmi menjadi sepasang kekasih.
*
*
Aku buka kotak kecil pemberian dia. Aku terkejut melihat isi dibalik kotak itu. Sebuah jam weker berbentuk kotak berwarna putih dengan motif hello kitty yang cantik. Animasi kesukaanku.
"Kamu suka?"
"Sangat suka, terimakasih" aku tersenyum manja dan memelukmu.
"Aku ingin setiap saat kamu bisa mengingatku. Lihat, lampunya warna warni kan. Dia bisa menemanimu saat tidur" kau tersenyum, menggemaskan.
Aku memperhatikanmu menjelaskan tentang hadiahmu itu. Tentang nyala lampunya yang unik, tentang motifnya yang lucu, dan tentang alasanmu memberiku hadiah itu. Malam itu adalah malam terindah semenjak kau ungkapkan kata cinta dan kita resmi menjadi sepasang kekasih.
*
Sudah Waktunya - Cerpen Sedih |
"Kita putus"
"Ya, aku mengerti." Kumatikan handphoneku dan menutup pembicaraan kita. Aku tertegun. Entah apa yang saat itu aku rasakan. Ingin sekali rasanya aku menangis dan berteriak. Tapi tenggorokanku kelu. Mataku kering. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kita bicarakan. Mudah sekali mengakhiri cerita ini. Bukankah dulu kita selalu berjuang untuk membuat akhir yang indah untuk cerita kita? Lantas kenapa kau kibarkan bendera putih pertanda kau menyerah? Kenapa dan kenapa. Begitu banyak tanya kenapa yang berkecamuk dalam hati dan pikiranku. Ah, aku lelah memikirkan hal itu. Yang kutahu semenjak ucapan itu keluar dari bibirmu hari-hariku menjadi kelabu. Aku hampa. Aku merasakan kekosongan yang sangat menyiksa batinku.
"Ya, aku mengerti." Kumatikan handphoneku dan menutup pembicaraan kita. Aku tertegun. Entah apa yang saat itu aku rasakan. Ingin sekali rasanya aku menangis dan berteriak. Tapi tenggorokanku kelu. Mataku kering. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kita bicarakan. Mudah sekali mengakhiri cerita ini. Bukankah dulu kita selalu berjuang untuk membuat akhir yang indah untuk cerita kita? Lantas kenapa kau kibarkan bendera putih pertanda kau menyerah? Kenapa dan kenapa. Begitu banyak tanya kenapa yang berkecamuk dalam hati dan pikiranku. Ah, aku lelah memikirkan hal itu. Yang kutahu semenjak ucapan itu keluar dari bibirmu hari-hariku menjadi kelabu. Aku hampa. Aku merasakan kekosongan yang sangat menyiksa batinku.
Waktu terus berjalan. Tanpa terasa satu tahun sudah sejak kau pergi dari hidupku. Aku bersandar di tempat tidurku. Memandang hadiah pertama yang kau beri untukku. Dan aku mengingatmu. Bukankah itu yang kau harapkan dari hadiahmu? Dia masih menunjukkan waktu dengan jelas. Kunyalakan tombol lampu yang ada dibawah jam itu. Menyala, tapi tak seterang dulu. Aku merewind memoriku saat bersamamu. Sebuah kebahagiaan nyata yang baru pernah kurasakan. Aku menyadari aku merindukanmu. Teramat sangat rindu. Hingga bendungan yang sedari tadi kubendung pun jebol. Aku menangis, mengingatmu. Mengingat semua kenangan indah yang masih jelas kurasakan. Seperti baru kemarin saja kualami.
Tok, tok tok. Kudengar ketokan halus dibalik pintu kamarku. Segera kuseka airmata itu.
"Ryan datang" suara ibuku setelah kubuka pintu dan mempersilahkan masuk.
Untuk apa dia datang? Aku bergeming dibalik pintu kamarku. Berbagai pertanyaan datang silih berganti dalam pikiranku. Aku bergegas ke kamar mandi membasuh mukaku dan sedikit berdandan sebelum akhirnya aku menemuinya. Aku begitu gugup. Aku berusaha menutupi kegugupanku dan bersikap sebiasa mungkin untuk menemuinya.
"Hai, apa kabar Artari?" kau beranjak dari tempat dudukmu, tersenyum lucu dan menyalami tanganku. Ah, senyummu masih sama seperti dulu.
Tak ada yang berubah darimu. Hanya saja badanmu lebih atletis. Mungkin sekarang kamu lebi rajin diet dan olahraga teratur.
"Baik." jawabku singkat.
"Dasar, kau masih saja jutek seperti dulu." Lagi, kau tersenyum dan mengusap lembut kepalaku.
Aku tersenyum tipis. Sebuah senyum basa-basi yang sebenarnya kupakasakan. Kau bertanya banyak hal kepadaku. Tentang pekerjaanku, hari-hariku, dan tentang siapa pasanganku sekarang.
"Aku masih sendiri" jawabku yang membuat kau mendongakkan kepala dari tundukkanmu.
Aku memalingkan wajahku ke awang-awang. Aku tak ingin mata kita beradu meski kau memaksaku menatapmu saat kita bicara.
"Selamat ya" Aku tersenyum saat kau memberiku selembar kertas berwarna biru bertuliskan namamu, dan nama seorang perempuan. Lagi, senyum yang kupaksakan.
"Jadi juga kau menikah dengannya"
"Mungkin memang ini takdir kita. Aku berharap kau tidak membenciku. Kita masih bisa jadi sahabat. Mungkin kita juga bisa jadi saudara. Aku minta maaf Tari jika ceritanya berakhir seperti ini. Teruslah tersenyum karna aku ingin melihatmu bahagia. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kita, dan untukmu." kau meraihku dan berusaha memelukku.
Aku menjauhkan tubuhmu dan melepaskan pelukan itu.
"Aku bahagia. Dan aku selalu bahagia. Semoga kaupun bahagia dengan Diar. Aku akan datang ke pernikahanmu. Sampaikan salamku untuk Diar. Kalian memang digariskan untuk berjodoh. Sekuat apapun aku mempertahankan benteng itu, tetap saja Diar tak pernah rela aku merobohkannya. Maaf aku sibuk. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."
"Ya, aku pamit. Sampaikan salamku untuk Ibu."
Aku beranjak masuk ke dalam rumah. Kulepas kepergianmu dari balik tirai jendela. Kau masih mematung. Kulihat kau menghempaskan nafas panjang dan berlalu pergi.
"Ibu kira kau akan berjodoh dengan Ryan. Memang jodoh itu rahasia Tuhan ya" Ibu tersenyum, akupun tersenyum. Malam itu dua orang perempuan tersenyum dengan artinya masing-masing.
Aku bergegas ke kamarku dan tanpa kusadari aku menangis. Apa yang kutangisi? Pernikahan Ryan dengan Diar besok, atau karna aku merasa lemah? Ah, entahlah. Aku hanya ingin menangis. Kulihat jam weker hadiah darinya. Mati. Tak ada waktu yang ditunjukkan. Dan tak ada nyalanya yang menerangi tidurku. Aku terlelap bersamaan dengan turunnya air dari langit gelap.
*
Aku memicingkan mata saat Ibu menyibak tirai jendela kamarku. Sejak kapan dia masuk ke kamarku? Aku tersadar. Sedari tadi aku me rewind ingatanku setahun yang lalu. Aku singkap selimut yang sedari tadi membalut tubuhku. Beranjak dari tempat tidurku dan tersenyum. Aku akan datang kepernikahanmu dan tersenyum bahagia untukmu. Meskipun itu senyum yang kupaksakan untuk kesekian kalinya. Karena ini adalah waktunya. Ya, sudah waktunya kau bahagia dengan hidupmu yang baru. Dan sudah waktunya aku bahagia dengan hidupku yang meski tanpamu.
SUMBER:http://www.lokerseni.web.id/2014/03/sudah-waktunya-cerpen-sedih.html
Karya Dwi Suci Lestari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar